Arsip Blog

BURHANY (ANAK CABANG EPISTEME) SEBAGAI TAWARAN AL-JABIRI CARA PEMAHAMAN BARU TERHADAP ISLAM

BURHANY (ANAK CABANG EPISTEME)
SEBAGAI TAWARAN AL-JABIRI CARA PEMAHAMAN BARU TERHADAP ISLAM

Makalah disusun dan dipresentasikan guna memenuhi tugas
Mata Studi Islam
Dosen Pengampu:
Dr. H. Abd. Munir, MA

Disusun oleh :
Sunartip (2101060015)

MAGISTER HUKUM ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2010/2011

KATA PENGANTAR

Islam sebagai agama menjelma menjadi sesuatu yang enak untuk selalu dikaji, dipelajari, bahkan diblejeti “kekurangannya” dari berbagai sisi. Penulis berpendapat, sampai di sini hal tersebut tidak menjadi masalah yang serius bagi siapapun yang berharap menemukan kesempurnaan Islam, hingga ia bersusah-payah mencari-cari kekurangan dan ketidak-otentikan ajaran Islam menurut sudut pandang pengetahuannya. Islam memberi ruang luas bagi siapapun untuk menyerangnya, tak terkecuali siapapun yang telah mengaku muslim untuk kembali mencermati ulang apa dan bagaimana agama yang mereka anut saat ini, baik dari sisi aspek ketuhanan (Tauhid), Ibadah (Fiqh), atau akhlak (tasawwuf) yang terkandung di dalam Islam.
Para orintalis berupaya mempelajari Islam dengan berbagai pendekatan yang mereka ajukan, baik pendekatan yang telah banyak dikenal oleh kalangan Muslim atau dengan pendekatan yang lain sama sekali dengan yang dimiliki kalangan Muslim. Berbagai teori pendekatan keagamaan ditawarkan oleh Michel Foucault, Jacques Derrida, Karl Marx, Anthony Gramsci, Gaston Bachelard, dan beberapa ahli filsafat Barat lain. Beberapa pemikir liberalis yang cenderung mengikuti mereka antara lain Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Adonis, Fatima Mernisi, dan lain-lain. Al-Jabiri sebagai salah satu pemikir muslim berupaya menawarkan teori pemahaman Islam yang dikenal dengan methode Bayany, Burhany dan ‘Irfany. Penulis memandang berbagai penawaran yang diajukan baik oleh kaum orientalis maupun kalangan muslim liberalis adalah khazanah keilmuan yang penting untuk dikaji, menarik dan tidak perlu untuk “dicurigai” sebagai upaya pendangkalan Islam. Sebab berbagai disiplin ilmu yang ditawarkan, perang pemikiran yang diluncurkan jauh membuat Muslimin yang lama tertidur dengan dogma pemikiran “kaku” yang seringkali pemikiran ini malah menjadi penjara bagi siapapun yang menfanatikinya hingga sulit berkembang tingkat pemahaman keagamaannya. Namun jelas ini bukan sebuah anjuran untuk meninggalkan kesakralan Islam sebagai ajaran beserta berbagai perangkat suci yang “walaupun” tetap dibolehkan untuk dikaji dengan kritisi secara analitik.
Penulis ucapkan ribuan terimakasih kepada Bapak Dr. H. Abd. Munir MA selaku dosen pengampu materi Kajian Studi Hadits Pascasarjana Hukum Islam Universitas Islam Malang yang bisa menyajikan materi tersebut secara cerdas, analitik dan menggugah.
Malang, 27 Mei 2011

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Sampul …………………………………………………………………….. 1
Kata Pengantar ………………………………………………………………………. 2
Daftar Isi …………………………………………………………………………….. 3

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………… 4
B. Rumusan Masalah …………………………………………………. 5
C. Tujuan Pembahasan ……………………………………………….. 5

BAB II BIOGRAFI AL-JABIRI
A. Riwayat Hidupnya …….……………………………………………. 6
B. Karya Ilmiahnya ……………………………………………………. 8

BAB III BURHANI; TEORI PENDEKATAN STUDI ISLAM GAYA BARU
A. Pengertian Umum Epiteme: Irfany, Bayany dan Burhany ………… 9
B. Tokoh pencetus Teori Burhany ………………………….……….… 12
C. Sejarah timbulnya Teori Burhany ……………………….……….… 12
D. Aplikasi Teori Burhany dalam memahami Islam ……….……….… 13
E. Serangan Goerge Tharabisyi terhadap konsep epiteme al-Jabiry
(induk pemikiran Method Burhany) ……….… 18

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………………… 22
B. Saran ……………………………………………………………………. 26

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………. 27

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bukan menjadi rahasia lagi bahwa aktivitas berpikir manusia mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Pemikiran manusia yang menjadi salah satu pemandu hidup selalu ingin mencari pencerahan baru untuk menghadapi dialektika yang berkembang.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi akal dan menempatkannya pada posisi mulia menjadikan sosok pemikir Muslim yang dinamis dalam menyikapi kehidupan dan keberlangsungan hidup, baik dalam kontek bertahan dari serangan pemikiran lain, maupun mengembangkan metode berpikir dalam rangka pencapaian puncak pemahaman atas kebenaran keyakinan.
Metode pemahaman Islam ala al-Jabiry dengan konsep episteme-nya berupaya mengusung gagasan seputar pemahaman pengambangan nalar yang terbagi menjadi 3 versi: bayany, ‘irfany dan burhany. Konteks pemikiran ala al-Jabiry yang menjadi cerminan keterbangunan pemikiran dari kungkungan nash dan qaidah qhat’iyyah yang berupaya digagasnya untuk kemudian digiring menuju metode pemahaman Islam gaya al-Jabiry.
Penulis memandang tidak ada kenafiyan bagi siapapun yang berupaya menggali barbagai metodologi, bahkan menciptakan metodologi baru dalam mencermati Islam, sejauh hal ini dilakukan dalam rangka pengkayaan khazanah pemikiran Islam tanpa harus menghilangkan kesakralan hal-hal yang telah baku orisinalitasnya di hadapan consensus ulama’ Islam. Bahkan penulis memandang pentingnya tantangan baru bagi perkembangan pemikiran Islam, agar gairah pemikiran umat Islam tidak tertidur dengan merasa cukup pada ranah taqlid-l-‘ama. Koridor-koridor umum yang telah ada telah jelas adanya untuk dijaga agar tidak menimbulkan keliaran berpikir tanpa aturan.
Metode Burhany sebagaimana ditawarkan oleh al-jabiry adalah salah satunya. Penulis mengangkat masalah ini dengan harapan munculnya semangat memahami agama ini dengan penuh gairah dan kesadaran akan arti pentingnya beragama, juga sebagai mind counter bagi siapapun yang terlalu mengagungkan ketokohan seseorang tanpa harus mengkritisnya dengan analisis dan cermat.

BAB II
BIOGRAFI AL-JABIRI

A. Riwayat Hidup
Muhammad al-Jabiri dilahirkan di Figuig, Maroko selatan tahun 1936. Riwayat pendidikannnya dimulai dari ibtidaiyah di Madrasah Burrah Wathaniyyah (sekolah agama swasta yang didirikan oleh oposisi kemerdekaan). Lalu ia melanjutkan pendidikannya di sekolah menenggah dari tahun 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic high School setelah Maroko merdeka.
Al-Jabiri adalah sosok yang gemar mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya di mulai tahun 1958 di univeristas Damaskus Syiria. Satu tahun kemudian dia pindah ke Universitas Rabat yang baru berdiri. Dia menyelesaikan program Masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Tarikh ‘inda Ibn Khaldun, di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi seorang pemikir Arab Maghribi yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sarter (w.1992). Al-Jabiry Meraih gelar Doktor Filsafat dari Fakultas Adab Rabath, sekaligus menjadi dosen di Fakultas universitas almamaternya sejak 1967.
Salah satu pemikir Arab yang banyak dijadikan rujukan dalam pembaruan dalam Islam adalah Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Pemikir asal Maroko ini baru saja meninggal 3 Mei 2010 lalu, pada usia 75 tahun. Di Indonesia, ide-idenya banyak dikaji. Sebagian kalangan – tanpa mengkaji dengan cermat – bahkan ada yang menelan mentah-mentah gagasan Jabiri tentang kategorisasi episteme, yaitu metode Bayani, ‘Irfani, dan Burhani.
Jabiri muda merupakan seorang aktvis politik berideologi sosialis. Dia bergabung dengan partai Union Nationale des Forces Populaires (UNFP), yang kemudian berubah menjadi Union Sosialiste des Forces Populaires (UNSFP). Pada tahun 1975 dia menjadi anggota biro politik USFP.
Di samping aktif dalam politik, Jabiri juga banyak bergerak di bidang pendidikan. Dari tahun 1964 dia telah mengajar filsafat di Sekolah Menengah, dan secara aktif terlibat dalam program pendidikan nasional. Pada tahun 1966 dia bersama dengan Mustafa al-Qomari dan Ahmed Sattati menerbitkan dua buku teks, pertama tentang pemikiran Islam dan kedua mengenai filsafat, untuk mahasiswa S1.
Ambisi besar al-Jabiry dalam rangka merekontruksi epistemologi baru yang sesuai dengan perkembangan. Kritik tajam ia luncurkan pada gerakan salaf, dan ia merasa tidak puas terhadap pembaruan yang dilakukan para cendekiawan muslim yang ada di jamannya. Hal ini ia lakukan tanpa menanggalkan pola pemikiran analitik konstruktif dengan mengemukakan ketidak-setujuannya terhadap pola penjiplakan Barat apa adanya, sebab menurutnya apa yang menjadi latar belakang pemikiran di dunia Islam dan di Barat jauh berbeda. Seiring hal ini, al-Jabiry tetap bersikap kritis terhadap perkembangan keilmuan pemikiran Barat yang ia anggap gagal dalam mentransformasi perubahan bersamaan perubahan jaman dan kondisi kekinian. Menurutnya, tidak banyak yang berubah dalam pemikiran Arab sejak zaman Jahiliyah. Al-Qur’an, menurut Al-Jabiri seolah-olah merupakan sumber inspirasi dalam sistem kepercayaan Islam yang tidak memainkan peran signifikan sama sekali dalam merubah pola pemikiran manusia. Lebih dari itu, ia berpendapat bahwa masa Jahili orang Arab tidak hanya berlangsung sebelum kenabian Rasulullah SAW tetapi terus berlanjut hingga terkodifikasinya ilmu-ilmu pengetahuan Arab. Ia berupaya mencoba melakukan terobosan-terobosan pemikiran alternatif untuk menjembatani kebutuhan pemecahan problematika antara tradisi Islam (turath) dan target capaian modernitas bangsa Arab. Di antara problem pokok yang mengganjak bagi kalangan pemikir Islam adalah rajutan turath (tradisi) yang berkembang mengikuti irama perkembangan agama yang mensejarah. Karena rajutan turath (tradisi) ini kadangkala menuntut “hak” untuk diperlakukan dengan terhormat sama sebagaimana perlakuan terhadap wahyu. Al-Jabiri memandang turath kebudayaan yang dilihat sebagai bagian yang esensial dari eksistensi dan kesatuan umat Islam maupun bangsa Arab. Di sini turath dipahami bukan hanya sebagai sisa-sisa atau warisan kebudayaan atau peninggalan masa lampau, tetapi adalah bagian dari penyempurnaan akan kesatuan ruang lingkup kultur yang terdiri dari doktrin, agama, datu syari’ah, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas. Maka menurutnya, kebangkitan Arab harus beranjak dari tradisi mereka sendiri dengan secara sadar, kritis dan rasional. Maka pemikiran mereka dituntut untuk mengkritik masyarakat dan akalnya, baik akal abstrak maupun akal politis.

Data pribadi Al-Jabiry adalah sebagai berikut:
Nama lengkap : DR Muhammad ‘Abid Al-Jabiry
Situs : http://www.aljabriabed.net/
Email : abedjabiry@hotmail.com dan aljabiry@menara.ma
Faximile : 21252250108

B. Karya Ilmiahnya
Beberapa karya al-Jabiry antara lain: “Qadlaya al Fikr al Mu’ashir”, Madkhal ila al-Qur’an al-Karim, fi at-Ta’rif bi al-Qur’an, Nahnu wa al-Turath, al-Khithab al-‘Arabi al-Mu’asir: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah, al-Turats wa al-Hadatsah, Ishkaliyah al-Fikr al-‘Araby al-Mu’ashir, Tahafut al-Tahafut, Naqd al-‘Aql al-‘Arabi yang terdiri dari tiga bagian yaitu Takwin al’Aql al-‘Araby, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, al-‘Aql al-Siyasy al-‘Araby.

BAB III
BURHANY (ANAK CABANG EPISTEME)
TAWARAN AL-JABIRI CARA PEMAHAMAN BARU TERHADAP ISLAM

A. Pengertian Umum Episteme: Bayany, Irfany, dan Burhany
Dalam rangka pemahaman yang sempurna tentang burhany, maka penulis merasa perlu untuk me-review pemahaman dari induk Burhany itu sendiri, yakni episteme yang membahas tiga topic utama bayany, ‘irfany dan burhany.

A.1 Epistemologi Bayani (Retorika)
Titik bahasan Epistemologi bayani ada pada teks (nash) baik secara langsung ataupun tidak. Secara langsung: Memahami teks sebagai pengetahuan yang sudah jadi dan langsung diterapkan tanpa adanya pemikiran terlebih dahulu. Secara tidak langsung: Memahami teks sebagai pengetahuan mentah yang masih perlu ditafsirkan dan dinalar.
Masalah yang muncul dengan epistemologi bayani adalah pemaknaan teks. Apakah teks dimaknai sesuai konteksnya atau makna aslinya. Maka, pemaknaan teks oleh epistemologi bayani menggunakan dua cara. Pertama, dengan berpegang pada redaksi teks sesuai kaidah bahasa Arab. Kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika, penalaran atau rasio sebagai sarana analisa. Meskipun perlu dinalar atau dianalisa, akal tidak bebas menentukan makna karena dasar utamanya tetap berupa teks. Ini berarti sumber pengetahuan utama epistemologi bayani adalah Al-Quran dan hadits.
A.2 Epistemologi ‘Irfany (Gnostis)
Kasyf (tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan) adalah dasar dari ‘Irfani. Pengetahuan dengan metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani. Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu: persiapan, penerimaan, dan pengungkapan.
Pada tahap persiapan, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, yaitu taubat, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang syubhat (wara’), tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia (zuhud), mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan dan tidak menghendaki apapun kecuali Allah SWT (faqir), sabar, tawakkal, dan ridla.
Pada tahap penerimaan, jika telah mencapai tingkat tertentu, seseorang akan mendapat limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan. Sedangkan pada tahap pengungkapan, pengalaman mistik disampaikan kepada orang lain, baik lewat ucapan maupun tulisan. Masalahnya, karena pengetahuan yang didapat adalah sebuah pengalaman dimensi batin, terkadang sulit untuk menyampaikan pengetahuan itu.
Epistemologi irfani yang lebih menekankan pada pengalaman langsung ini membuat otoritas akal tertepis karena lebih bersifat partisipatif.
A.3 Epistemologi Burhani (demonstrative)
Dalam bahasa Arab al-burhan bersumber dari kata tsulasy (بَرِهَ-يَبْرَهُ) yang berarti menutupi badan dengan pakaian dari aurat/aib/cacat, yang kemudian mendapat tambahan hamzah (أَبْرَهَ) yang berarti datang dengan kejelasan argumentasi, yang dalam masdarnya berarti demonstarsi. Bahasa latinnya berarti demonstration yang berarti al-isyarah (isyarat/tanda), al-washf (sifat), al-bayan (penjelasan), al-idzhar (menampakkam). Maka bisa diartikan secara umum bahwa burhany adalah pembuktian untuk pembenaran atas suatu hal.
Demonstrasi sebagai sebuah aktifitas kognitif merupakan inferensi rasional yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan kesimpulan yang bernilai. Sebagai lapangan kognitif, demonstrasi ini adalah dunia pengetahuan filsafat dan sains yang diderivasikan dari gerakan tranlasi buku-buku asing, khususnya karya Aristoteles ke dalam peradaban Arab. Karena penerjemahan buku-buku itu dilatari oleh kehendak politik untuk mendukung akal retoris melawan serbuan tren akal gnostis, maka tidak heran kalau dalam praktiknya latar belakang ini mempunyai pengaruh yang dominan. Dan terjadilah hubungan yang sangat erat antara keduanya dalam tataran pemikiran teologi/filsafat.
Analisa akulturasi tren ini ke dalam peradaban Arab menurut perspektif epistemologisnya, terbagi dalam dua poros:
Pertama, dalam kaitannya dengan metodologi yaitu dengan menggunakan pendekatan pasangan epistemologisnya (al-lafdz/al-ma’na) yang sejajar dengan pasangan pertama dalam tren akal retoris
Kedua berkaitan secara khusus dengan pola pandang, yaitu dengan menggunakan pasangan epistemologis al-ashl/al-far’ dan pasangan al-jauhar/al-‘ardh dalam tren akal retoris.
Epistemologi burhani bersumber pada realitas, baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani siseut sebagi ilmu al-husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun dan disistemasasikan lewat premis-premis logika atau al-mantiq dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan lewat otoritas intuisi.
Dengan pemahaman premis-premis logika keilmuan yang tersusun melalui kerja-sama antara proses abstraksi dan pengamatan indra yang benar dan/atau dengan menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat laboratorium, proses penelitian lapangan dan penelitian literer yang mendalam. Peran akal pikiran sangat menentukan di sini, karena fungsinya selalu diarahkan untuk mencari sebab-akibat. Hal ini bertujuan mencari sebab-akibat yang terjadi pada peristiwa-peristiwa alam, sosial, kemanusiaan dan keagamaan, akal pikiran tidak memerlukan teks-teks keagamaan. Untuk lebih memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila digunakan pendekatan-pendekatan seperti sosiologi, antropologi, kebudayaan dan sejarah.
Tolok ukur validitas keilmuan nalar burhani yang ditekankan adalah korespondensi (al-muthabaqah bana al-‘aql wa nizam al-thabi’ah) yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam. Selain korespondensi juga ditekankan aspek koherensi (keruntutan dan keteraturan berpikir logis) dan upaya yang terus menerus dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan temuan-temuan, rumus-rumus dari teori-teori yang telah dibangun dan disusun oleh jerih payah akal manusia (pragmatik).

Berikut ini adalah tabel perbandingan antara ketiga epistemologi Islam yang telah dijelaskan sebelumnya, epistemologi bayani, irfani, dan burhani
BAYANY IRFANY BURHANY
SUMBER TEKS KEAGAMAAN Nash Intuisi Rasio Ilham
METHODE ISTINBAT Istdila-l-Kasyf Tahlily (Analitik) Diskursus
PENDEKATAN Linguistik Psicho-Gnostik Logika
TEMA SENTRAL Ashl-Furu’
Wilayah-Nubuwwah Kata-Makna
Essensi-Eksistensi Dlahir-Batin
Bahasa-Logika
VALIDITAS Kebenaran Korespondensi Intersubjektif Koherensi Konsistensi
PENDUKUNG Kaum Teolog, Fiqh, Bahasa Kaum Sufi Filosof

B. Tokoh pencetus Teori Burhani
Tidak diragukan, bahwa al-Jabiri-lah sang penggagas teori Burhany untuk pemahaman Islam sebagai cabang baahasan Metode Epistemologi yang ia canangkan, hal ini bisa dibuktikan dengan orisinalitas karyanya seputar masalah di atas dengan dilandasi keprihatinannya terhadap kejumudan pemikiran Islam yang terjadi di kalangan bangsa Arab.

C. Sejarah timbulnya Teori Burhani
Menurut sejarah munculnya metode pemikiran burhani, dasar logika yang paling berpengaruh di dalamnya adalah logika Aristoteles. Istilah logika ini sebenarnya muncul belakangan dan tidak pernah disebut oleh Aristoteles.
Aristoteles sendiri memperkenalkan metode berpikirnya ini sebagai metode berpikir analitik. Logika Aristoteles sering disebut sebagai logika tradisionalis, logika formal, atau logika deduktif. Salah satu ajaran penting dalam logika Aristoteles adalah silogisme.
Hal ini dilandasi pada mega proyek al-Jabiry bagi kebangkitan umat yaitu melalui proyek pemikirannya yang ia sebut dengan Kritik Nalar Arab. Sebuah kritik tajam dilatar-belakangi oleh semangat revivalisme (Kebangkitan Islam) dalam dua gagasan yaitu sebagai refleksi atas kegagalan kebangkitan Islam sekaligus upaya untuk merealisasikan kebangkitan Islam yang tak kunjung datang.
Maka al-Jabiry berpendapat bahwa kritik akal merupakan hal yang utama dalam proyek kebangkitan bangsa Arab, dengan memperhatikan sejarah budaya Arab Islam dan pembentukan akal Arab, yang dalam sejarahnya sering terjadi pertikaian antara kajian epistemologi dan ideologi dalam budaya akal Arab.
Maksud kritik akal Arab al-Jabiri adalah akal arab dalam kapasitasnya sebagai instrumen pemikiran dan pemahaman berupa produk teoritis yang karakteristik-karakteristiknya dibentuk oleh peradaban tertentu dalam hal ini adalah peradaban Arab. Dengan kritik akal Arab, diharapkan bangsa Arab mampu merekonstruksi sejarah peradaban Arab mereka. Al-Jabiri mengkaji epistemologi dalam akal Arab melalui tiga hal yaitu bayany, ‘irfany dan burhany.

D. Aplikasi Teori Burhani dalam Metodologi Pendekatan Islam
Di dalam al-Muwafaqât, Syatibi tidak menggunakan istilah al-burhân terutama dalam diskusinya tentang al-qoth’i, apalagi menggunakan kata tersebut dalam pengertian metodologi tertentu. Andaikata istilah tersebut muncul tidak lepas dari konteks pengertian umum seperti ad-dalil dan al-istidlâl, itu pun hanya beberapa kali. Kenyataan ini berbeda dengan keyakinan Al-Jabiri yang memasukkan Syatibi ke dalam kelompok al-burhaniyûn (pendukung nalar burhani).
Untuk memastikan kebenaran klaim Al-Jabiri tersebut benar. Pertama-tama yang harus dicermati adalah definisi al-burhân itu sendiri. Al-Jabiri dalam banyak hal kata Abdurrahman merumuskan berbagai definisi termasuk definisi al-burhân secara subyektif sehingga menimbulkan berbagai persoalan. Ada dua model definisi al-burhân yang dikemukakan Al-Jabiri. Pertama definisi asli dan kedua definisi hasil formulasi Al-Jabiri sendiri. Definisi bentuk pertama disebutkan Al-Jabiri dalam diskusi tentang sistem epistemologi (andhimah ma’rifiyah).
Dalam definisi ini al-Jabiri menegaskan bahwa al-burhân dibangun di atas beberapa sifat, yaitu:
1. Metode nalar al-burhân adalah produk rasionalisme Aristotelean.
2. Metode al-burhân terkait dengan instrumen penyimpulan القياس الْجَمْعِي (syllogism unifierlink) dan instrumen induktif yang bersifat eksperimen indrawi dan enumerasi sebab.
3. Metode al-burhân tidak membutuhkan sumber pengetahuan yang lain yang bersifat tekstual.
Apakah ketiga sifat atau unsur tersebut harus ada (على سبيل الجمع) dan melekat pada diri seseorang sehingga ia dapat dikategorikan sebagai al-burhaniyun ataukah dengan terpenihinya salah satu sifat saja sudah dapat mewakili sifat-sifat lain (على سبيل البدل). Tampaknya al-Jabiri tidak memperdulikan apakah unsur-unsur tersebut terpenuhi keseluruhan atau sebagiannya. Akan tetapi kalaupun unsur-unsur al-burhân itu terpenuhi secara keseluruhan dan menjadi syarat esensial untuk menentukan seseorang sebagai pendukung nalar burhânî (البرهانية), namun dapat dipastikan bahwa proyek al-maqôsid sangat tidak refresentatif untuk menempatkan Syatibi ke dalam kelompok al-burhânîyûn. Apalagi dengan mencermati kriterium asli yang ketiga yang hanya mengandalkan sumber-sumber rasional tidak mungkin selalu sahih bagi Syatibi mengingat beliau di dalam al-Muwafaqât dan al-I’tisôm sangat lantang menyuarakan prinsip bahwa “al-‘aql sangat memperhitungkan dan selalu tunduk pada naql” atau dengan bahsa Syatibi sendiri dalam catatan pendahulun ke-sepuluh: لا يسرح العقل به مجل النظر إلا بقدر ما يسرّحه النقل ((la yasrahu al-aql fi majâl an-nazr illâ biqodri mâyusarrihuhu an-naql))”, di samping itu obyek kajian Syatibi adalah sesuatu yang berkaitan dengan syari’ah sehingga metodenya berbeda dengan metode yang ditempuh oleh ahli ilmu konvensional yang selalu mengesampingkan aspek sakralitas (al-muqaddas).
Syatibi tidak lepas dari metode para mujtahid yang menyatakan bahwa naql adalah hakim bagi ‘aql. Atas dasar ini maka penisbatan Syatibi kepada al-burhânîyûn menjadi kurang beralasan. Akan tetapi kalau kriterium al-burhânîyûn itu tidak mesti semuanya dalam arti bahwa hanya salah satunya saja, maka penisbatan tersebut mungkin saja sah dan dapat diterima. Namun sehubungan dengan ini perlu dicermatai lebih jauh proyek al-maqôsid Syatibi tersebut. Di sinilah letak pentingnya pencermatan yang seksama atas dua kriterium lain yang melekat di dalam al-burhânîyûn. Akan tetapi apabila kriterium itu hanya membutuhkan dan mengedepankan rasionalitas dan mengabaikan aspek tekstualitas yang sakral (nas) maka kriterium tersebut semestinya sudah gugur berdasarkan argumentasi di atas. Karena dengan keikutan dan ketundukan ‘aql kepada naql sudah tidak mungkin lagi mempertahankan rasionalisme Aritotelean, dengan bahasa Toha al-ma’qûl al-aqlî al-aresthi. Bukankah Syatibi mengkritik filsafat Yunani karena dua alasan prosudural yang nilai ilmiahnya sulit dipungkiri: pertama bahwa filsafat terjebak pada masalah-masalah abstrak yang teoritis tanpa dibarengi oleh aksi atau perbuatan (‘amal), sementara yang diperlukan adalah keselarasan antara ilmu dengan perbuatan atau teori dengan peraktik, keduanya tidak akan terpisahkan. Kedua, bahwa metode filsafat terlalu complication (at-ta’qîd) dan composition (at-tarkîb) sementara yang dibutuhkan adalah mendekatkan metode-metode yang mengantar kita kepada ilmu pengetahuan secara efektif. Adapun kriterium asli yang kedua yang berkaitan dengan al-burhânî dan induksi sebab (istiqrô’ sababi), maka akan mengalihkan perhatian kita kepada definisi formulatif nalar burhânî yang dirumuskan oleh Al-Jabiri sendiri.
Dalam konteks diskusinya tentang Syatibi, Al-Jabiri menampilkan dan membatasi al-burhân pada tiga sifat yaitu:
a. Mengikuti metode al-istintâj atau qiyâs al-jâmi’
b. Mengikuti metode istiqrô’
c. Mempertimbangkan maqôsid syar’i.
Aristoteles menjelaskan silogisme dengan cara yang berbeda dengan metode silogisme yang telah disebutkan sebelumnya. Model silogisme yang disebutkan pada penjelasan metode-metode inferensi sebelumnya adalah silogisme yang dikenalkan oleh logika Stoik.
Model silogisme Aristoteles sering disebut sebagai silogisme katagorik karena semua proposisinya katagorik. Silogisme terdiri dari beberapa komponen, yaitu premis mayor, premis minor, dan kesimpulan. Di dalam istilah yang digunakan oleh Skolastik, terdapat beberapa bentuk silogisme:
a. Bentuk pertama, term tengah (middle term) menjadi subyek pada premis mayor dan menjadi predikat pada premis minor.
1. Semua manusia fana.
Mahasiswa adalah seorang manusia.
Mahasiswa fana.
Model ini disebut Barbara.
2. Tak ada batu yang rasional.
Semua akik adalah batu.
Tak ada akik yang rasional.
Model ini disebut Calerent.
3. Semua manusia rasional.
Sebagian makhluk hidup adalah manusia.
Sebagian makhluk hidup rasional.
Model ini disebut Darii.
4. Tak ada orang Yunani berkulit hitam.
Sebagian manusia adalah orang Yunani.
Sebagian manusia tak berkulit hitam.
Model ini disebut Ferio.
b. Bentuk kedua, term tengah (middle term) menjadi predikat pada premis mayor dan premis minor.
Semua tumbuhan membutuhkan air.
Tidak satupun benda mati membutuhkan air.
Tidak satupun benda mati adalah tumbuhan.
c. Bentuk ketiga, term tengah (middle term) menjadi subyek pada premis mayor dan premis minor.
Setiap manusia mempunyai rasa takut.
Tetapi setiap manusia adalah makhluk hidup.
Sebagian makhluk hidup mempunyai rasa takut.

Dengan landasan logika Aristoteles, beberapa metode yang dipakai dalam epistemologi burhani adalah metode deduksi (istintaj, qiyas jami), induksi (istiqra), konsep universalisme (al-kulli), universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan historitas, serta tujuan syariah (al-maqashid).
Perbedaan mendasar antara penalaran dengan epistemologi bayani dan burhani adalah inferensi pada bayani didasarkan atas lafal, sedangkan pada epistemologi burhani didasarkan pada makna.
Menurut dasar-dasar teori yang disampaikan di atas, diketahui bahwa epistemologi burhani menggunakan konsep berpikir dengan logika Aristoteles yang menimbulkan pemikiran yang analitik.
Cara berpikir analitik ini tentunya sangat penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan, terutama di dalam pengembangan ilmu pengetahuan oleh ilmuwan-ilmuwan muslim. Apalagi di tengah terpuruknya pengembangan pengetahuan di antara ilmuwan-ilmuwan muslim.
Epistemologi yang saat ini lebih berkembang adalah epistemologi bayani. Epistemologi ini kurang bisa merespon dan mengimbangi perkembangan dunia. Epistemologi burhani unggul di bidang ini. Namun begitu, tidak berarti epistemologi burhani tidak memiliki kekurangan. Meskipun memiliki dasar yang berbeda-beda, ketiga epistemologi Islam ini saling berhubungan.
Dari penjelasan di atas, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Logika dapat diaplikasikan sebagai metode berpikir analitik, misalnya dalam epistemologi burhani.
2. Premis-premis yang akan diinferensi dengan silogisme dalam epistemologi burhani harus memenuhi syarat :
a. Mengetahui latar belakang penyusunan premis
b. Adanya alasan logis antara alasan dan kesimpulan
c. Kesimpulan yang diambil bersifat pasti dan benar, tidak menimbulkan kebenaran atau kepastian lain.
3. Otoritas referensi epistemologi burhani adalah tetap pada Al-Quran dan hadits.
4. Walaupun memiliki dasar yang sangat berbeda, ketiga epistemologi Islam, yaitu epistemologi bayani, irfani, dan burhani, memiliki hubungan yang bisa saling melengkapi.
5. Epistemologi burhani sangat representatif digunakan sebagai model berpikir dalam pengembangan ilmu penegtahuan.

E. Serangan Beberapa Tokoh Pemikir Muslim terhadap konsep episteme al-Jabiry (induk pemikiran Method Burhany)
Berdasarkan asumsi yang muncul dari kejumudan yang terjadi saat ini dalam nalar Arab-Islam, maka kita akan menemukan banyak penawaran solusi dalam menyikapinya. Kita juga menemukan tak sedikit dari para pemikir Muslim yang berusaha menawarkan konsep bagaimana seharusnya menyikapi problem-problem kekinian terutama yang berkaitan dengan problematika nalar Arab-Islam. Tapi dari sekian banyak cendikiawan Muslim tersebut, penulis hanya akan mengulas sedikit tentang sosok George Tharabisyi dan karyanya, terutama kritiknya terhadap mega proyek kritik nalar Arab al-Jabiri.
1. Kritikan George Tharabisyi
Sebagaimana diketahui, George Tharabisyi adalah seorang pemikir, penulis, penerjemah, dan sekaligus kritikus ternama dalam cakrawala pemikiran Arab-Islam kontemporer. Dilahirkan di sebuah keluarga Kristen di Syiria pada tahun 1939 dan tumbuh dewasa di Lebanon, Syiria. Sertifikat dalam Bahasa Arab ia peroleh dari Universitas Damaskus. Dalam perjalanan hidupnya, selain pernah menjabat sebagai direktur di salah satu stasiun radio di Damaskus (1963-1964), ia juga pernah menjabat sebagai ketua majalah Dirâsât ‘Arabiyah di Lebanon. Tapi karena di sana perang saudara meletus kala itu, ia pun meninggalkan Lebanon dan memutuskan untuk menetap di Prancis. Di sanalah George Tharabisyi tetap eksis dan produktif menelurkan karya-karya ilmiahnya. Selain produktif mengkritik kritik nalar Arab al-Jabiri, ia juga banyak menerjemahkan buku-buku berkualitas.
Berbagai karya terjemahan penting Tharabisyi mencapai lebih dari 200 judul buku. Selain itu, ia juga telah banyak menulis buku-buku ilmiah. Di antaranya yaitu karyanya tentang Marxisme yang berjudul “al-Mârkisiyah wa Idiyûlûjiyâ” dan “Sartre wa al-Mârkisiyyah”, karya kritiknya terhadap sastra Arab yang meliputi periwayatan dan cerita-cerita Arab seperti “Allâh fî Rihlah Najîb Mahfûdz al-Ramziyah” dan “al-Âdâb min al-Dâkhil”, dan karya monomentalnya “Naqd Naqd al-‘Aql al-’Arabî” yang ia tulis dalam kurun waktu 15 tahun yang terdiri dari 4 jilid yaitu “Nadzariyah al-‘Aql al-‘Arabî”, “Isykâliyah al-‘Aql al-‘Arabî, “Wahdah al-‘Aql al-‘Arabî al-Islâmî”, dan “al-‘Aql al-Mustaqîl fi al-Islâm” yang secara khusus ia tulis sebagai kritik terhadap mega proyek “Naqd al-‘Aql al-‘Arabî” karya Muhammad Abid al-Jabiri, seorang pakar filsafat Islam dan pemikir besar Muslim asal Maroko. Karya Tharabisyi tersebut tersusun sangat rapi, sistematis, dan ensikopledis.
Dalam dua bukunya yaitu “Nadzariyah al-‘Aql” dan “Isykâliyât al-‘Aql al-‘Arabî”, ia mengkritik pemikiran al-Jabiri yang tertuang dalam bukunya “Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî” dan “Naqd al-‘Aql al-‘Arabî”. Yaitu, jika landasan metodologi pemikiran al-Jabiri terkungkung dalam problematika akal yang seakan-akan terpenjara, maka Tharabisyi coba menghadirkan stimulan baru dalam wacana kritik atas kritik (naq al-naqd) yang mana ia bukan hanya menawarkan sketsa baru dengan pemisahan problematis nalar yang sulit dimengerti oleh para pembaca karya al-Jabiri, tapi ia juga lebih fokus dalam membuka cengkeraman dogma-dogma yang ada tersebut.
Dalam “Isykâliyah al-‘Aql al-‘Arabî”, Tharabisyi menjelaskan beberapa poin kritiknya terhadap al-Jabiri sebagai berikut:
Pertama, tentang problematika kerangka referensi dalam nalar Arab, yang mana al-Jabiri berpendapat bahwa setelah pemisahan mitos-mitos pada zaman kodifikasi, maka muncullah batu loncatan di atas pusat hakekat al-Qur`an itu sendiri.
Kedua, Ia juga berpendapat bahwa era kodifikasi adalah awal kemandegan pemikiran Arab-Islam. Bagaimana tidak, menurut al-Jabiri, manusia pada akhirnya dihadapkan pada materi-materi baku yang tidak dapat diganti atau bahkan dikembangkan. Tharabisyi mengkritiknya dengan berpendapat bahwa era kodifikasi sejatinya merupakan kerangka rujukan bagi nalar Arab atau bisa dikatakan sebagai titik utama bagi peradaban Arab Islam. Kedua, tentang problematika bahasa dan akal, yang mana berbeda dengan al-Jabiri yang mengganggap bahwa bahasa Arab bagaikan sebuah penyakit yang menyerang nalar Arab dan bahasa tidak memiliki nilai historis dan peradaban, Tharabisyi justeru menyanggahnya dengan berpendapat bahwa bahasa Arab sebenarnya memiliki nilai historis yang tinggi yang berkaitan erat dengan peradaban.
2. Toha Abdurrahman
Toha Abdurrahman, dalam Kitabnya, Tajdid, misalnya, adalah salah seorang yang paling kritis menilai bangunan epistemologi dan metodologi Jabiri dalam mengkritisi turats. Bahkan, ia berkesimpulan, Jabiri sendiri inkosisten. Jabiri mengajak untuk membaca turats secara komprehensif. Tapi, ia sendiri membaca turats dengan parsial. Kata dia, epistemologi Bayani, misalnya, telah menghasilkan fiqh, usul fiqh, tafsir, dan kalam. Sementara metode Irfani melahirkan tasawwuf, dan Burhani menelurkan filsafat. Itu artinya, dia bersikap parsial (tajzi’iyyah). Padahal dia menyatakan, bahwa Fiqh, Usul Fiqh, Tafsir, Nahwu, Balaghah adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Artinya, seorang ahli fiqh bisa berpikir dalam kerangka Bayani, Irfani, dan Burhani. Seorang al-Ghazali adalah pemikir yang menggunakan epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani sekaligus. Kenyataan ini berlawanan dengan pernyataannya yang mengkategorikan pemikiran Ghazali kepada bentuk Bayani dan Irfani, dan tidak Burhani sama sekali.
3. Kritik Nuruddin al-Ghadir
Ia berkesimpulan bahwa sesungguhnya buku-buku Jabiri itu tidak layak terbit, karena pada prinsipnya kajian-kajiannya dalam turats bukan untuk merekonstruksi turats, tapi malah menghancurkannya. Ghadir menuliskan “berdasarkan fakta ini, proyek Jabiri pada akhirnya hanya akan mencabik-cabik turats, bahkan mencabik ekistensi budaya ummat Islam.” (wa bihadha fainna al-Jabiri fi nihayah mahsru’ihi yasilu ila tajazzu’i al-turats fi ab’ad mustawiyatihi, bal wa tajazzu’i kiyan al-ummah al-islamiyyah al-thaqafi).
4. Kritik Adian Husaini
Permulaan langkah pemikiran al-Jabiri mulanya tidak ikut-ikutan mengkritik al-Quran, sebagaimana pemikir liberal lainnya. Namun al-Jabiri yang mengisyaratkan ada yang “tercecer” dari al-Qur’an sebagaimana dipahami kaum muslimin saat ini.
Dalam analisis dan usulannya, Jabiri banyak mengadopsi perangkat dan teori yang dikembangkan oleh Michel Foucault, Jacques Derrida, Karl Marx, Anthony Gramsci, Gaston Bachelard, dan beberapa ahli filsafat Barat lain. Dari Foucault dia meminjam konsep episteme Foucault untuk mengembangkan teori episteme Arab yang kemudian dikenal dengan Bayani, ’Irfani, dan Burhani. Inti kajian Jabiri sebenarnya tidak banyak berbeda dengan banyak pemikir liberal lain, seperti Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Adonis, Fatima Mernisi, dan lain-lain. Ia menolak metode Bayani yang dikembangkan oleh para Fuqaha’ dan ’ulama Ushul Fiqh karena dianggap lebih mengedepankan teks dari pada substansi teks. Jabiri pun ”menyerang” Imam Syafi’i, kerena dianggap orang bertanggung jawab meletakkan dasar berpikir tersebut melalui ar-Risalah karya monumentalnya.
Meskipun sempat menarik banyak perhatian, gagasan pembaruan Jabiri pun menuai banyak kritik mendasar. Misalnya, untuk mempertahanakan rasionalitas mazhab ala Arab Maghribi, dimana dia menjadi bagian daripadanya, Jabiri sering melakukan pemilahan atas turats-turats yang hanya mendukung pendapatnya saja. Lebih fatal lagi, menurut George Tarabisi, Jabiri telah melakukan praktik plagiat, karena tidak menyebutkan sumber rujukan ide-idenya, meskipun secara jelas ide itu berasal dari orang lain. Jabiri, kata Tarabisi, sering memplintir tulisan orang lain — secara sadar atau tidak — sesuai dengan keinginannya. Kajiannya tidak orisinil. Oleh sebab inilah, banyak penulis seperti ‘Ali Harb yang menilai bahwa kajian turats Jabiri penuh dengan muatan ideologis, Arab centrism.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam bahasa Arab al-burhan berarti datang dengan kejelasan argumentasi, yang dalam masdarnya berarti demonstarsi. Bahasa latinnya berarti demonstration yang berarti al-isyarah (isyarat/tanda), al-washf (sifat), al-bayan (penjelasan), al-idzhar (menampakkam). Maka bisa diartikan secara umum bahwa burhany adalah pembuktian untuk pembenaran atas suatu hal. Demonstrasi sebagai sebuah aktifitas kognitif merupakan inferensi rasional yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan kesimpulan yang bernilai.
Analisa akulturasi tren ini ke dalam peradaban Arab menurut perspektif epistemologisnya, terbagi dalam dua poros: Pertama, dalam kaitannya dengan metodologi yaitu dengan menggunakan pendekatan pasangan epistemologisnya (al-lafdz/al-ma’na) yang sejajar dengan pasangan pertama dalam tren akal retoris. Kedua berkaitan secara khusus dengan pola pandang, yaitu dengan menggunakan pasangan epistemologis al-ashl/al-far’ dan pasangan al-jauhar/al-‘ardh dalam tren akal retoris.
Epistemologi burhani bersumber pada realitas, baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani siseut sebagi ilmu al-husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun dan disistemasasikan lewat premis-premis logika atau al-mantiq dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan lewat otoritas intuisi. Dengan pemahaman premis-premis logika keilmuan yang tersusun melalui kerja-sama antara proses abstraksi dan pengamatan indra yang benar dan/atau dengan menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat laboratorium, proses penelitian lapangan dan penelitian literer yang mendalam.
Peran akal pikiran sangat menentukan di sini, karena fungsinya selalu diarahkan untuk mencari sebab-akibat. Hal ini bertujuan mencari sebab-akibat yang terjadi pada peristiwa-peristiwa alam, sosial, kemanusiaan dan keagamaan, akal pikiran tidak memerlukan teks-teks keagamaan. Untuk lebih memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila digunakan pendekatan-pendekatan seperti sosiologi, antropologi, kebudayaan dan sejarah.
Tolok ukur validitas keilmuan nalar burhani yang ditekankan adalah korespondensi (al-muthabaqah bana al-‘aql wa nizam al-thabi’ah) yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam. Selain korespondensi juga ditekankan aspek koherensi (keruntutan dan keteraturan berpikir logis) dan upaya yang terus menerus dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan temuan-temuan, rumus-rumus dari teori-teori yang telah dibangun dan disusun oleh jerih payah akal manusia (pragmatik).
Al-Jabiri-lah sang penggagas teori Burhany untuk pemahaman Islam sebagai cabang bahasan Metode Epistemologi yang ia canangkan.
Menurut sejarah munculnya metode pemikiran burhani, dasar logika yang paling berpengaruh di dalamnya adalah logika Aristoteles. Istilah logika ini sebenarnya muncul belakangan dan tidak pernah disebut oleh Aristoteles. Burhany sendiri dilandasi pada mega proyek al-Jabiry bagi kebangkitan umat yaitu melalui proyek pemikirannya yang ia sebut dengan Kritik Nalar Arab. Sebuah kritik tajam dilatar-belakangi oleh semangat revivalisme (Kebangkitan Islam) dalam dua gagasan yaitu sebagai refleksi atas kegagalan kebangkitan Islam sekaligus upaya untuk merealisasikan kebangkitan Islam yang tak kunjung datang. Maka al-Jabiry berpendapat bahwa kritik akal merupakan hal yang utama dalam proyek kebangkitan bangsa Arab, dengan memperhatikan sejarah budaya Arab Islam dan pembentukan akal Arab, yang dalam sejarahnya sering terjadi pertikaian antara kajian epistemologi dan ideologi dalam budaya akal Arab.
Aplikasi Teori Burhani dalam Metodologi Pendekatan Islam. Ada dua model definisi al-burhân yang dikemukakan Al-Jabiri. Pertama definisi asli dan kedua definisi hasil formulasi Al-Jabiri sendiri. Definisi bentuk pertama disebutkan Al-Jabiri dalam diskusi tentang sistem epistemologi (andhimah ma’rifiyah).
Dalam definisi ini al-Jabiri menegaskan bahwa al-burhân dibangun di atas beberapa sifat, yaitu:
1. Metode nalar al-burhân adalah produk rasionalisme Aristotelean.
2. Metode al-burhân terkait dengan instrumen penyimpulan القياس الْجَمْعِي (syllogism unifierlink) dan instrumen induktif yang bersifat eksperimen indrawi dan enumerasi sebab.
3. Metode al-burhân tidak membutuhkan sumber pengetahuan yang lain yang bersifat tekstual.
Apakah ketiga sifat atau unsur tersebut harus ada (على سبيل الجمع) dan melekat pada diri seseorang sehingga ia dapat dikategorikan sebagai al-burhaniyun ataukah dengan terpenihinya salah satu sifat saja sudah dapat mewakili sifat-sifat lain (على سبيل البدل).
Dalam konteks diskusinya tentang Syatibi, Al-Jabiri menampilkan dan membatasi al-burhân pada tiga sifat yaitu:
a. Mengikuti metode al-istintâj atau qiyâs al-jâmi’
b. Mengikuti metode istiqrô’
c. Mempertimbangkan maqôsid syar’i.
Model silogisme Aristoteles sering disebut sebagai silogisme katagorik karena semua proposisinya katagorik, hal ini kemudian dijadikan al_jabiriry sebagai landasan pembentukan Burhany. Silogisme terdiri dari beberapa komponen, yaitu premis mayor, premis minor, dan kesimpulan
Otoritas referensi epistemologi burhani adalah tetap pada Al-Quran dan hadits. Walaupun memiliki dasar yang sangat berbeda, ketiga epistemologi Islam, yaitu epistemologi bayani, irfani, dan burhani, memiliki hubungan yang bisa saling melengkapi. Epistemologi burhani sangat representatif digunakan sebagai model berpikir dalam pengembangan ilmu penegtahuan.

Serangan Beberapa Tokoh Pemikir Muslim terhadap konsep episteme al-Jabiry (induk pemikiran Method Burhany) bisa disimpulkan sebagai berikut:
1. Kritikan George Tharabisyi
Dalam “Isykâliyah al-‘Aql al-‘Arabî”, Tharabisyi menjelaskan beberapa poin kritiknya terhadap al-Jabiri sebagai berikut: Pertama, tentang problematika kerangka referensi dalam nalar Arab, yang mana al-Jabiri berpendapat bahwa setelah pemisahan mitos-mitos pada zaman kodifikasi, maka muncullah batu loncatan di atas pusat hakekat al-Qur`an itu sendiri. Kedua, Ia juga berpendapat bahwa era kodifikasi adalah awal kemandegan pemikiran Arab-Islam. Tharabisyi mengkritiknya dengan berpendapat bahwa era kodifikasi sejatinya merupakan kerangka rujukan bagi nalar Arab atau bisa dikatakan sebagai titik utama bagi peradaban Arab Islam. Kedua, tentang problematika bahasa dan akal, yang mana berbeda dengan al-Jabiri yang mengganggap bahwa bahasa Arab bagaikan sebuah penyakit yang menyerang nalar Arab dan bahasa tidak memiliki nilai historis dan peradaban, Tharabisyi justeru menyanggahnya dengan berpendapat bahwa bahasa Arab sebenarnya memiliki nilai historis yang tinggi yang berkaitan erat dengan peradaban.
2. Toha Abdurrahman
Ia berkesimpulan, Jabiri sendiri inkosisten. Jabiri mengajak untuk membaca turats secara komprehensif. Tapi, ia sendiri membaca turats dengan parsial. Kata dia, epistemologi Bayani, misalnya, telah menghasilkan fiqh, usul fiqh, tafsir, dan kalam. Sementara metode Irfani melahirkan tasawwuf, dan Burhani menelurkan filsafat. Itu artinya, dia bersikap parsial (tajzi’iyyah). Padahal dia menyatakan, bahwa Fiqh, Usul Fiqh, Tafsir, Nahwu, Balaghah adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Artinya, seorang ahli fiqh bisa berpikir dalam kerangka Bayani, Irfani, dan Burhani. Seorang al-Ghazali adalah pemikir yang menggunakan epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani sekaligus. Kenyataan ini berlawanan dengan pernyataannya yang mengkategorikan pemikiran Ghazali kepada bentuk Bayani dan Irfani, dan tidak Burhani sama sekali.
3. Kritik Nuruddin al-Ghadir
Ghadir menuliskan “berdasarkan fakta ini, proyek Jabiri pada akhirnya hanya akan mencabik-cabik turats, bahkan mencabik ekistensi budaya ummat Islam.” (wa bihadha fainna al-Jabiri fi nihayah mahsru’ihi yasilu ila tajazzu’i al-turats fi ab’ad mustawiyatihi, bal wa tajazzu’i kiyan al-ummah al-islamiyyah al-thaqafi).
4. Kritik Adian Husaini
Al-Jabiri diindikasikan mulai tertulari kegemaran oriantelis Barat menyerang al-Qur’an yang ia yakini denganmengisyaratkan ada yang “tercecer” dari al-Qur’an sebagaimana dipahami kaum muslimin saat ini.
Dalam analisis dan usulannya, Jabiri dituduh banyak mengadopsi perangkat dan teori yang dikembangkan oleh Michel Foucault, Jacques Derrida, Karl Marx, Anthony Gramsci, Gaston Bachelard, dan beberapa ahli filsafat Barat lain. Dari Foucault dia meminjam konsep episteme Foucault untuk mengembangkan teori episteme Arab yang kemudian dikenal dengan Bayani, ’Irfani, dan Burhani.
Inti kajian Jabiri sebenarnya tidak banyak berbeda dengan banyak pemikir liberal lain, seperti Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Adonis, Fatima Mernisi, dan lain-lain. Ia menolak metode Bayani yang dikembangkan oleh para Fuqaha’ dan ’ulama Ushul Fiqh karena dianggap lebih mengedepankan teks dari pada substansi teks.
Jabiri sering melakukan pemilahan atas turats-turats yang hanya mendukung pendapatnya saja. Lebih fatal lagi, menurut George Tarabisi, Jabiri telah melakukan praktik plagiat, karena tidak menyebutkan sumber rujukan ide-idenya, meskipun secara jelas ide itu berasal dari orang lain. Jabiri, kata Tarabisi, sering memplintir tulisan orang lain — secara sadar atau tidak — sesuai dengan keinginannya.
Kajiannya tidak orisinil. Oleh sebab inilah, banyak penulis seperti ‘Ali Harb yang menilai bahwa kajian turats Jabiri penuh dengan muatan ideologis, Arab centrism.

B. Saran
Keluasan keilmuan Islam yang begitu menyamudera menjadikan pembahasan ini benar-benar terasa dangkal. Bila timbul kepuasan intelektual dengan apa yang penulis suguhkan, sungguh hal tersebut akan menyebabkan kejumudan berkepanjangan dalam menyelami samudera ilmu yang ada.
Penulis sangat berharap agar kajian ini bisa menjadi sumbangan pemikiran bagi dunia Islam umumnya dan penggalian materi epistimologi karya Al-Jabiry pada khususnya. Kritik dan saran penulis harapkan dalam rangka penyempurnaan makalah ini, semoga bermanfaat. Amiin!

DAFTAR PUSTAKA

Abu Lewis, al-Munjid fi-l-Lughah, Beirut-Lebanon: Daar Masyriq, 2007.
Ali Harb, Naqd al-Nass (Bayrut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993
Amin Abdullah, Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi.
Eko Nugroho Supaat, Muhammad ‘Abid Al-Jabiri (Studi Pemikirannya tentang Tradisi (Turath) Skripsi, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, admingdl@uin-suka.ac.id.
http://adiebreezha.blogspot.com/2011/04/biografi-singkat-abid-al-jabiri.html, diakses terakhir tanggal 31 Mei 2011.
http://agustianto.niriah.com/2008/03/11/ epistemologi-ekonomi-islam/ waktu akses: 1 Januari 2009, 12:33
http://dicky_funny.tripod.com/ibid. diakses terakhir tanggal 3 Mei 2011.
http://islamia.com/teori bayani-‘irfany-burhany/, diakses terakhir tanggal 2 Mei 2011.
http://khudorisoleh.blogspot.com/2008/07/model-model-epistemologi-islam.html waktu akses : 1 Januari 2009, 12:38
http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=100:bayani-irfani-dan-burhani&catid=11: nirwan-syafrin, diakses terakhir tanggal 5 Mei 2011
http://www.numesir.com, terakhir diakses tanggal 3 Mei 2011
Juandi, “Struktur Logika Dalam Hukum Islam”,–
M. Abid al-Jabiri, al-‘Aql al-Siyasy al-‘Araby, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafy al-Araby, 1993).
_______________, Bunyah al-Aql al-Araby, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafy al-Araby, 1993).
_______________,Bunyah al-Aql al-Araby. Dar an-Nasyr al-Magribiyah (edisi Maroko), Cet: I, Sept 2006.
_______________, Madkhal ila al-Qur’an al-Karim terbitan 2006
_______________,Markaz Dirasat al Wahdah al ‘Arabiyah cet. I Beirut 1997
_____________, Nalar Filsafat dan Teologi Islam, terj. Aksin Wijaya, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003). Lihat juga: http://dicky_funny.tripod.com/clash.htm, diakses terakhir tanggal 3 Mei 2011.
_____________, Takwin al-‘Aql al-‘Araby, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafy al-‘Araby, 1991)
Moch. Muwaffiqillah, “Agama dan Negara dalam Rajutan Turath Analisis terhadap Pemikiran Muhammad ‘Abid al-Jabiri”, Akademika, Vol. 16, No. 2, Maret 2005.
Muhammad Aunul Abied Shah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri”
Nasrah, “Pengetahuan Manusia dan Epistemologi Islam”, Universitas SumateraUtara
Nirwan Syafrin, “Kritik terhadap ‘Kritik Akal Islam’ al-Jabiri”
Rinaldi Munir, “Diktat Kuliah IF 2153,Matematika Diskrit, Edisi Keempat “, ProgramStudi Teknik Informatika, STEI, ITB, 2006.
Rohi Baalbaki, al-Maurid (a Modern Arabic-English Dictionary), Dar el-Ilm li-l-Malayin, Hal: 234
Wahib Wahab, “Rekonstruksi Epistemologi Burhani”, —
http://www.averroes.or.id/feed. 24 Maret 2011. 09.45wib